KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sebanyak seratus pasang sandal jepit diserahkan posko
pengumpulan sandal untuk pembebasan AAL kepada Kapolri di Mabes Polri,
Jakarta, Kamis (5/1/2012). Penyerahan tersebut bermaksud untuk
mengkritik kriminalisasi yang dilakukan Briptu Ahmad Rusdi Harahap,
anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah, terhadap seorang remaja berinisial
AAL di Palu, Sulawesi Tengah karena dituduh mencuri sepasang sandal
jepit milik Rudi.
===============================================================================================
Aku seperti bemo atau sendal jepit.
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit.
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?
KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus "sandal jepit" merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya "Besar dan Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.
Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.
===============================================================================================
Aku seperti bemo atau sendal jepit.
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit.
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?
KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus "sandal jepit" merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya "Besar dan Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.
Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.
Aku seperti bemo atau sendal jepit.
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit.
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?
Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal
Banyumas yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga
buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk
datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu
harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke
pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Yang paling anyar,
kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3,
Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia
dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota
Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam
hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal.
Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang
diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak ada
satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu
memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan, Rusdi
yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah miliknya
karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim
meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki
Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan
dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL
bersalah karena mencuri barang milik orang lain.
Mati
Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com,
Kamis (5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada
Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari
tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan
formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani.
"Ancaman
lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau
Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif.
Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan
memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan
evaluasi," kata Imam.
Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun
mengatakan hal serupa. Hakim kini dinilainya terlalu legalistik
terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti
dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.
"Undang-undang itu dead letter law (hukum
yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan
tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang,
melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa
diterima," kata Soetandyo.
Meskipun, seyogyanya mencuri atau
mengambil barang orang lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan
melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal itu
sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?
Lihat saja bagaimana
para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang
nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu
diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas
dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari
panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun.
Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman
antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus
atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10
tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.
Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada pertengahan November tahun
lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang rendah. Pengadilan,
kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum yang baik.
"Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan rakyat,"
kata Busyro.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto
Juwana mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika
berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto,
seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
"Saya
prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi
terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata
kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan
melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.
Keadilan Restoratif
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah.
Keadilan
restoratif adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan
kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman
penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian kasus-kasus
kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup dengan
mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini.
Mantan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar yang turut
memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa dengan para
penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. Ia menilai,
Kementerian Hukum dan HAM pun bertanggunjawab, karena sekarang lebih
peduli pada pencitraan, sehingga subtansi rasa keadilan masyarakat
tidak tersentuh lagi.
"Sungguh disesalkan, sekarang ini semua penegak hukum mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing," kata Patrialis.
Sejumlah
pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri
ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat
kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya
disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku
berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan
kecil. Penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras
dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo dan bagai agar-agar bagi
kalangan atas.
Mari berdendang bersama Iwan Fals...
Mari berdendang bersama Iwan Fals...
Mengapa besar selalu menang.
Bebas berbuat sewenang-wenang.
Mengapa kecil selalu tersingkir.
Harus mengalah dan menyingkir.
Apa bedanya besar dan kecil?
Bebas berbuat sewenang-wenang.
Mengapa kecil selalu tersingkir.
Harus mengalah dan menyingkir.
Apa bedanya besar dan kecil?
0 komentar:
Posting Komentar