Tidak Ada Kasus Kriminalitas, Cerita di Christmas Island Bagian 4*)
Setiap hari kita disuguhi berita
“menyeramkan” dengan berbagai kejadian kriminalitas di Tanah Air, baik
di media cetak, di televisi, maupun di dunia internet yang seolah-olah
saling susul-menyusul tak mau berhenti sejenakpun. Selain berita nyata,
masih pula disuguhi tontonan sinetron televisi yang (selain tidak
berkualitas) tak kalah seramnya dengan menonjolkan kekerasan fisik
setiap adegannya. Sebagai orang tua, saya sangat miris dengan kondisi
psikis anak-anak yang cenderung destruktif dengan mencoba meniru apa
yang sering dilihatnya.
Tapi herannya (meskipun penduduk sini juga sering
menonton acara televisi Indonesia), di Christmas Island –menurut
informasi dari pribumi yang sudah cukup tua bernama Pak Rochim
(keturunan Malaysia)- belum pernah ada kasus yang namanya kriminalitas.
Bahkan ketika saya jelaskan definisi kriminalitas yang di dalamnya
adalah perbuatan yang melanggar hukum pidana, misalnya kejahatan
pencurian, penculikan, penganiayaan, atau mungkin korupsi dan lain
sebagainya. Jawabannya tetap sama. Tidak ada!
Hari kedua di Christmas Island, kami berencana
untuk menyusuri pulau sambil orientasi tempat kerja dengan pak I King.
Sebelum meninggalkan rumah saya ingin mengunci rumah terlebih dahulu.
Sempat bingung karena pintu rumahnya tidak dipasang kunci.
“Pak I King, ini pintu kok tidak ada kuncinya pak?’, tanya saya.
“Ya, memang tidak dipasang kunci, tutup saja yang
rapat biar tidak ada kepiting yang masuk”, jawab pak I King sambil
menuju mobil. Belum sempat saya bertanya lagi, pak I King melanjutkan.
“Di sini hampir tidak ada yang pasang kunci di
rumahnya, karena buat apa kita buang-buang uang untuk beli kunci, toh di
sini tidak akan ada maling….”.
Tentu karena rasa penasaran, setiap saya berkunjung
ke rumah teman-teman selalu memeriksa pintunya, ternyata memang tidak
ada yang memasang kunci! Sesuai dengan cerita dan pengalaman penduduk
pulau ini, bahwa tidak akan ada pencurian dengan alas an, buat apa
mencuri sesuatu barang yang mereka juga telah memilikinya. Selain itu
semua penduduk memang selalu mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku
di Christmas Island.
***
Beberapa hari setelah saya perhatikan dengan
seksama, semua mobil di pulau ini tidak ada yang memasang kunci di
pintunya. Juga tidak ada kaca mobil yang berwarna gelap, semua bening
seperti aquarium kosong. Bahkan sering terlihat di tempat parkir, kunci
mobilnya masih terpasang dengan “manisnya” di tempatnya. Begitu pula
barang-barang yang berada di dalam mobil, seolah-olah pemiliknya tidak
ada rasa khawatir sedikitpun akan berpindah tangan.
Sayapun mulai berpikir, berarti bisnis kunci dan kaca rayban di sini bakalan gulang tikar. Dan seketika teringat bagaimana maraknya iklan alarm mobil di Indonesia yang menawarkan alarm security system dengan segala kecanggihannya.
Namun ada juga kejadian lucu dari teman saya,
Clinton, yang mobilnya tidak ada di tempat parkir usai keluar dari
diskotik. Setelah mencoba mencari ke tempat lain dan tidak menemukan
mobilnya, akhirnya Clinton pulang diantar temannya. Pada saat melewati
Kantor Polisi, Clinton sempat mampir dan “mengadukan” kasus kehilangan
mobilnya.
Pagi harinya pada saat berangkat kerja, Clinton
melihat mobilnya sudah berada di tempat parkir persis seperti saat ia
parkir semalam. Lalu ia melihat dan memeriksa mobilnya tersebut, tak
satupun barang di dalam mobilnya yang hilang. Siangnya baru dapat
informasi dari security diskotik, bahwa semalam ada seorang tamu
diskotik yang salah membawa mobil karena sedang dalam kondisi mabuk.
***
Pagi hari menuju tempat kerja, kami mampir dulu di
sebuah “kedai” khusus yang menyediakan masakan Melayu. Seperti biasa
saya memesan roti canai (roti khas Melayu yang digoreng, yang
dihidangkan dengan kuah kari ayam) dan segelas teh susu. Sengaja kami
makan di bagian teras sambil melihat pemandangan jalan Gaze Road.
Baru beberapa suap menikmati sarapan pagi, saya
mendengar di bagian dalam kedai suara ribut dua orang (suara keduanya
sangat saya kenal) beradu mulut seperti sedang berantem. Sontak saja
saya menghampiri ke dalam dengan maksud ingin melerai. Ketika melihat
saya masuk, Buncis (salah seorang pelayan kedai) masuk ke dapur sambil
membawa nampan sembari masih tetap mengomel. Karena penasaran, saya
menghampiri pak Salih yang terlihat kesal dengan muka merah padam.
“Ada masalah apak pak Salih?”, tanyaku dengan hati-hati agar tak menyinggung perasaannya.
“Itu anak…., si Buncis barusan saya tegur karena
semalam ia mabuk dan menggedor-gedor pintu apartemen saya. Saya sudah
tegur beberapa kali supaya ia pindah, tapi malah makin jadi..”.
Saya diam saja sambil menunggu cerita selanjutnya.
“Untung aja di Christmas Island, coba kalau di Malay, sudah saya hajar dia…”.
“Lho, emang kalau di sini kenapa pak?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Dik Yusuf kan sudah tahu, mana ada yang berani
berkelahi di sini (maksudnya di Christmas Island), kalau saya pukul dia
bisa-bisa saya dibawa ke kantor polisi”.
Luar biasa, untuk berantem (secara fisik=berkelahi) saja mereka sangat takut, apalagi melakukan tindak kriminal lainnya…..
Eit tunggu dulu…, ternyata ada sebuah kasus
pembunuhan massal yang dilakukan warga Christmas Island dan sebuah
kejadian kanibalisme yang sempat saya saksikan di bawah ini.
Mohon bersabar, dalam sambungan ….Cerita di Christmas Island (5)
0 komentar:
Posting Komentar